Etika profesi fotografer

ETIKA PROFESI FOTOGRAFER
      Perkembangan dunia teknologi fotografi sudah sangat berkembang pesat, Saat ini semua orang dapat membeli kamera DSLR yang dulunya khusus untuk kalangan professional, sayangnya perkembangan tersebut tidak dibarengi dengan pengetahuan, etika fotografer dalam memotret.
      Banyak yang menganggap pentingkah pengetahuan, etika fotografer dalam memotret? Tentu saja sangat penting. Ada sebuah insiden beberapa saat lalu yang membuat tercorengnya dunia fotografi, yakni pada saat perayaan hari raya Waisak pada tanggal 25 Mei 2013. Saat itu perayaan Waisak yang dipusatkan di Candi Borobudur sangat ramai oleh pengunjung dan ratusan fotografer siap dengan kameranya. Belum termasuk pengunjung lain yang juga membawa kamera meski hanya kamera saku. Mirisnya, saat para biksu sedang memanjatkan doa di bagian atas Candi, banyak sekali fotografer yang merangsek masuk dan menjepretkan kamera mereka dengan beringas tanpa permisi dan membuat kegaduhan.
      Meskipun cahaya sorotan dari lampu cukup terang, tetap saja para fotografer menyalakan flash mereka. Tentunya hal ini sangat mengganggu peribadatan umat Budha yang sedang berkonsentrasi dalam berdoa. Kegaduhan semakin menjadi ketika para fotografer berebut posisi untuk mendapatkan angleterbaik, bahkan ada yang sampai naik ke stupa dan mendekat hingga 2 meter kepada biksu. Tentunya hal ini sungguh terdengar miris, dan tidak akan terjadi bila rekan-rekan fotografer mengetahui tentang aturan dan etika dalam memotret.
      Ada beberapa aturan dan etika fotografer dalam memotret agar bisa menjadi fotografer yang sopan santun, beretika dan tidak asal-asalan saat sedang berburu gambar. Berikut di antaranya:
Patuhi peraturan pengambilan gambar
      Di beberapa tempat sering tertera keterangan dilarang memotret. Biasanya tulisan tersebut ada pada area publik seperti SPBU, Mall, Museum, hotel dan lain-lain. Larangan memotret yang diberlakukan biasanya berkaitan dengan kenyamanan orang lain, kemanan atau bahkan hak cipta. Jika Anda adalah seorang fotografer yang baik, seharusnya mematuhi aturan tersebut.
Perhatikan area saat akan menggunakan lampu flash
      Anda pastinya tahu bagaimana sambaran lampu flash kamera yang sangat silau. Di antara beberapa fotografer sering kali melanggar aturan penggunaan flash, terutama saat memotret di area publik. Orang yang merasa tidak nyaman akan sambaran flash bisa saja menegur Anda jika hal itu cukup mengganggu.
Meminta ijin saat akan memotret orang lain
     Hal ini tentu sangat penting, jangan merasa seolah Anda datang dari kota pergi ke desa lalu dengan sesuka hati memotret orang di perkampungan yang sedang melakukan aktivitasnya. Sebelum itu, mintalah ijin terhadap orang yang akan Anda foto, karena mungkin saja orang tersebut tidak ingin diambil gambar. Selain itu, memotret orang asing berarti kita juga sudah memasuki area privacy mereka. Terangkan pada mereka untuk apa Anda memotret, apakah untuk dokumentasi pribadi, jurnalistik atau untuk tujuan komersil. Hal ini juga berlaku apabila Anda sedang berburu foto dijalanan atau populer disebut Street Photography.
Hormati foto model yang Anda potret
      Hal ini khususnya pada foto model wanita, Anda harus bersikap sopan terhadapnya dan jangan terkesan memerintah apalagi membentaknya. Selain itu, menyentuh model wanita juga merupakan hal yang sangat tidak sopan di Indonesia dan bisa membuat model tersebut menjadi tidak nyaman. Intinya, jalin komunikasi dengan baik.
Memotret disturbing picture. 
      Entah masuk dalam kategori apa jika Anda memotret orang yang sedang terluka parah setelah mengalami kecelakaan. Hal ini tidak akan mendapat pujian apapun dan mungkin Anda akan mendapat hujatan. Dalam hal ini jurnalis mempunyai kode etik sendiri dan tidak sembarangan mempublikasikannya. Jika memang harus dipublikasikan, biasanya bagian yang tidak lazim akan dibuat blur.
Berhenti memotret jika mengganggu
      Hal ini berlaku setiap saat dan dimanapun Anda berada. Sebagai contoh kasus perayaan Waisak di atas, jika Anda sudah mendapat teguran karena mengganggu seharusnya Anda lekas menghentikan aktivitas memotret Anda. Atau akan lebih baik jika Anda sadar diri bahwa aktivitas memotret Anda menganggu. Tidak semua orang biasa difoto, bahkan lebih banyak orang yang merasa canggung bila difoto.
Hati-hati dengan eksploitasi
      Di beberapa negara maju ada larangan untuk memotret anak-anak yang sedang bermain di area publik, hal ini dikhawatirkan akan menjadi eksploitasi. Mungkin di Indonesia masih tergolong bebas, namun bukan berarti Anda sesuka hati memotret anak-anak, apalagi yang belum dikenal. Selain itu beberapa orang juga menganggap bahwa memotret gelandangan di jalan merupakan sebuah eksploitasi.
Jangan memotret secara bergerombol
      Mungkin dalam hal ini banyak diantara fotografer yang pro kontra, namun alangkah baiknya jika Anda menghindari hunting foto yang demikian. Sebagai contoh, 2 model dikeroyok oleh 15 fotografer terlihat seperti seekor Rusa yang sedang diincar Harimau. Lebih nyaman bila Anda memotret dengan rekan Anda hanya 2-3 orang saja.
Semua Tentang Aturan Hukum Fotografi di Indonesia Terbaru 2016
     Tak dapat dipungkiri bahwa saat ini minat akan potret memotret semakin berkembang. Mulai dari anak-anak sampai orang tua hobi photo dengan kameranya masing-masing. Apalagi zaman serba canggih dengan gadget foto atau video dengan harga terjangkau. Mulai dari foto selfie sampai narsis bareng-bareng dengan tongsis. Kemudian hasilnya upload di sosial media seperti instagram, facebook, path dll.
       Namun yang perlu diperhatikan banyak juga yang terkena kasus hukum gara-gara sebuah foto atau video. Biasanya berkaitan dengan kesusilaan, privasi dan hak cipta. Seperti saya yang harus mendekam di penjara selama 500 hari gara-gara sebuah foto panas seorang model.
     
      Definisi berdasarkan Wikipedia: Fotografi (dari bahasa Inggris: photography, yang berasal dari kata Yunani yaitu "photos" : Cahaya dan "Grafo" : Melukis/menulis.) adalah proses melukis/menulis dengan menggunakan media cahaya. Sebagai istilah umum, fotografi berarti proses atau metode untuk menghasilkan gambar atau foto dari suatu objek dengan merekam pantulan cahaya yang mengenai objek tersebut pada media yang peka cahaya. Alat paling populer untuk menangkap cahaya ini adalah kamera.

       Memang di era internet, video, foto atau gambar sebagai karya ciptaan sangat rentan menjadi persoalan hukum. Tanpa pengetahuan undang-undang dan hukum, kelalaian yang timbul dari hanya sekali klik pada keyboard bisa berujung bui atau denda bermilyar Rupiah.

      Intellectual Property Rights (IPR) dalam bahasa Indonesia memiliki dua istilah yang pada awalnya adalah Hak Milik Intelektual dan kemudian berkembang menjadi Hak Kekayaan Intelektual (HAKI). Permasalahan yang kerap muncul adalah bagaimana perlindungan hukum atas karya cipta fotografi. Individu terhadap perusahaan, organisasi nirlaba, pemerintah dan pihak-pihak tertentu selalu mempunyai kebutuhan untuk menggunakan karya fotografi.

Berikut Beberapa Aturan Hukum yang Perlu Dipahami Para Fotografer Indonesia

1. Hukum Menggunakan Foto Orang Lain Tanpa Izin
      Menurut Pasal 13 ayat (1) huruf j UU No 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta fotografi termasuk ciptaan yang dilindungi. Selanjutnya, pengaturan hak cipta untuk potret/fotografi diatur dalam Pasal 19 s.d. Pasal 23 UUHC. Orang yang mengambil foto orang lain menjadi seorang Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dari foto yang dihasilkan. Akan tetapi, terhadap fotografi terdapat pembatasan atas penggunaan hak cipta sebagaimana diatur dalam Pasal 19 UUHC yang berbunyi:
(1) Untuk memperbanyak atau mengumumkan Ciptaannya, Pemegang Hak Cipta atas Potret seseorang harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari orang yang dipotret, atau izin ahli warisnya dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun setelah orang yang dipotret meninggal dunia.
(2) Jika suatu Potret memuat gambar 2 (dua) orang atau lebih, untuk Perbanyakan atau Pengumuman setiap orang yang dipotret, apabila Pengumuman atau Perbanyakan itu memuat juga orang lain dalam Potret itu, Pemegang Hak Cipta harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari setiap orang dalam Potret itu, atau izin ahli waris masing-masing dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun setelah yang dipotret meninggal dunia.
(3) Ketentuan dalam Pasal ini hanya berlaku terhadap Potret yang dibuat:
a. atas permintaan sendiri dari orang yang dipotret;
b. atas permintaan yang dilakukan atas nama orang yang dipotret; atau
c. untuk kepentingan orang yang dipotret.

      Keharusan untuk meminta persetujuan orang yang dipotret karena tidak selalu orang yang dipotret akan setuju bahwa potretnya diumumkan tanpa diminta persetujuannya. Oleh karena itu, ditentukan bahwa harus dimintakan persetujuan yang bersangkutan atau ahli warisnya. Demikian bunyi penjelasan Pasal 19 ayat (1) UUHC.

      Jadi, bila ingin menggunakan foto yang menampilkan orang lain untuk misalnya kegiatan promosi, atau menampilkan foto tersebut dalam suatu website untuk keperluan komersial, sebaiknya anda meminta persetujuan terlebih dahulu dari orang yang dipotret. Bila tidak anda dapat dijerat ancaman pidana Pasal 72 ayat (5) UUHC yang berupa pidana penjara paling lama 2 tahun dan/atau denda paling banyak Rp150 juta.

2. Hukumnya Diam-Diam Memfoto Orang Lain
      Bagaimana aspek hukum memfoto orang lain secara diam-diam? Contoh kasus: Ada teman kantor sedang bekerja dan tanpa sadar difoto dengan menggunakan HP yang mana foto itu seolah-olah posisinya menunduk seperti sedang tidur. Lalu foto itu dicetak dan dijadikan bukti ke atasannya bahwa dia lagi tidur di jam kerja. Bisakah orang yang memfoto dipidana sesuai UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik? Apakah foto tersebut merupakan bukti yang sah?

      Foto yang diambil melalui kamera handpohone tersebut dapat dikatakan sebagai informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik apabila masih berbentuk elektronik (jika belum dicetak) sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 UU ITE.
      Jika dilihat dari segi UUHC, foto teman itu dikategorikan sebagai potret, yaitu gambar dari wajah orang yang digambarkan. Sebagai pencipta, si pengambil foto memiliki hak cipta yang memberi sejumlah hak eksklusif kepada pencipta di antaranya untuk melaksanakan perbanyakan, pengumuman termasuk perubahan atas gambarnya sendiri dan melarang orang lain melaksanakan tindakan-tindakan tersebut tanpa seijinnya. Akan tetapi, terdapat pembatasan atas penggunaan hak cipta atas potret. Artinya, orang yang mengambil potret harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari yang difoto sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (1) UUHC. Sanksinya adalah pidana penjara paling lama 2 tahun dan/atau denda paling banyak Rp150.000.000.

      Perbuatan ini tidak bisa dikenakan ancaman pidana dalam UU ITE oleh karena perbuatan tersebut tidak dilakukan dengan jalan mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Ini karena foto yang telah dicetak tersebut tidak lagi dalam bentuk informasi dan/atau dokumen elektronik. Kalau foto tersebut tidak berbentuk informasi elektronik, maka pelakunya diancam Pasal 310 ayat (2) jo. ayat (1) KUHP ttg perbuatan menista dengan gambar.

      Jadi, pada dasarnya memfoto orang lain secara diam-diam itu tidak dipidana. Tapi, jika foto tersebut disebarluaskan tanpa seizin pihak yang difoto, maka pelakunya bisa dipidana sesuai UUHC. Jika memuat unsur pencemaran nama baik dan fotonya masih dalam bentuk informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik, pelakunya diancam pidana sesuai UU ITE. Jika memuat unsur pencemaran nama baik dan fotonya berbentuk gambar yang dicetak lalu disebarluaskan, pelakunya diancam dengan KUHP. Mengenai pembuktian, pada dasarnya sesuatu yg menyatakan kebenaran suatu peristiwa bisa dijadikan bukti. Namun, ditinjau dari UU ITE, informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.

3. Konsekuensi Hukum Mengunggah Foto Ke Grup BBM
      Menurut Josua Sitompul, S.H., IMM dalam artikel Apakah Blackberry Messenger (BBM) Termasuk Media Sosial?, pengiriman satu konten dari satu anggota kepada grup BBM dapat diterima oleh anggota-anggota lain dari grup tersebut. Dengan kata lain, teknologi aplikasi media sosial, termasuk aplikasi BBM tersebut, dapat menciptakan ruang publik virtual. Hal ini tentu saja dapat menimbulkan konsekuensi-konsekuensi hukum. Oleh karena itu, sama seperti menggunakan media sosial lainnya, pengguna harus memiliki kehati-hatian dalam melakukan pengiriman.

      Foto yang diunggah ke grup BBM dapat menimbulkan konsekuensi hukum, jika foto tersebut memuat konten atau isi yang bertentangan dengan UU ITE atau melanggar UUHC (sehubungan dengan penyebaran foto seseorang).

      Oleh karena itu, hati-hati gan kalau share foto di grup BBM. Jika muatannya melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan, bisa kena hukum lho.

4. Risiko Hukum Mengumbar Foto Mesra Dengan Istri Orang Lain
      Banyak motif kenapa seseorang melakukan ini biasanya motif sakit hati kepada si perempuan.

Ada dua kemungkinan risiko hukum dalam kasus penyebaran poto ini.

Yang pertama, bila penyebaran foto dilakukan lewat media elektronik seperti email, facebook, twitter, blog pribadi atau bahkan di forum web seperti kaskus. Sang penyebar foto bisa diancam pidana. Yaitu penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar. Demikian diatur dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 27 ayat (3) serta Pasal 43 UU ITE.

Pasal-Pasal di UU ITE
Pasal 27 ayat (1)
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.”

Pasal 27 ayat (3)
“Setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”

Beda hal klo penyebaran foto itu dilakukan lewat media cetak seperti pamflet, poster, dll. Ancaman hukumannya lebih ‘ringan’. Yaitu penjara paling lama 1 tahun 4 bulan atau denda maksimal Rp4,5 juta. Hal ini diatur dalam Pasal 310 (2) KUHP

Pasal 310 ayat (2) KUHP
(1) Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(3) Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.

5. Hukumnya Telanjang Di Social Media
       Dunia social media memang wadah menunjukkan eksistensi yang digandrungi masyarakat dri berbagai lapisan. Menariknya cara untuk eksis di socmed ini kadang-kadang ekstrim gan. Salah satunya adalah dengan memposting foto-foto telanjang.

Lalu apakah hal seperti melanggar peraturan hukum di Indonesia?

Pertama-tama, yang perlu anda ketahui ialah masalah Pornografi sudah diatur secara tegas oleh UU Pornografi yang sudah secara tegas Pasal 4 ayat (1)-nya menyatakan:

      Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat:
a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;
b. kekerasan seksual;
c. masturbasi atau onani;
d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
e. alat kelamin; atau
f. pornografi anak.

      Jadi berdasarkan pasal di atas, agan dilarang untuk menyebarkan foto-foto telanjang di social media. Bila agan masih nekad melanggar ketentuan Pasal 4 ayat (1) di atas, agan dapat dijerat sanksi pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 12 tahun, dan/atau pidana denda paling sedikit Rp. 250 Juta dan paling banyak Rp. 6 miliar. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 29 UU Pornografi.

     Masih juga relevan dengan masalah foto-foto bugil, Pasal 8 UU Pornografi menyatakan bahwa Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi. Pelanggaran terhadap pasal 8 ini diancam sanksi pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5 miliar.

      Jadi bukan hanya fotografernya maupun penyebar foto-foto telanjang di social media saja yang terancam sanksi pidana, orang yang menjadi model foto-foto telanjangnya pun dapat dikenai sanksi.

      Selain diatur oleh UU Pornografi, menyebarkan foto-foto telanjang di social media juga merupakan pelanggaran terhadap pasal 27 ayat 1 UU ITE yang mengatur sebagai berikut:

      Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.

Pelanggaran pasal di atas ada ancaman sanksi pidananya di Pasal 45 ayat (1) UU ITE berupa penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar.


Kode Etik Dunia Fotografi Terkini 2016
Dalam dunia fotografi tidak hanya asal jepret, dalam dunia fotografi juga ada etikanya. Etika publikasi / kode etiknya. (Sumber:www.fotografi.my.id/artkel/kode-etik-fotografi.html)

1. Terhadap Makhluk Hidup
tidak mengganggu fisik mau pun psikis subyek/obyek
tidak menggangu aktivitas subyek/obyek
tidak merugikan subyek/obyek, baik saat memotret mau pun saat foto ditampilkan
tidak menyebabkan perubahan perilaku yang bersifat negatif

Etika memotret ruang publik, harus melihat situasi dan kondisi dari negara dan tempat bersangkutan, dibeberapa negara terdapat larangan untuk memotret anak kecil yang berlarian di jalan, contohnya Australia, karena sangat takut jika terjadi eksploitasi anak. Berbeda dengan di Indonesia yang bisa dengan bebas candid anak kecil.

2. Terhadap Benda
Tidak mengganggu kesetimbangan
Tidak boleh merusak benda benda bersejarah yang menjadi objek , tidak boleh menggunakan flash karna dapat merusak barang tersebut. (Dalam musium)

3. Terhadap Hukum, dan semacamnya
bila memungkinkan selalu minta ijin sebelum atau sesudah perekaman
lengkapi surat ijin bila memang diperlukan
Untuk memotret kejadian-kejadian seperti kecelakaan, bencana dan tragedi lainnya, para jurnalis biasanya memiliki akses sendiri (kode etik jurnalistik) yang diatur dalam UU no 40/1999 PERS dan KEJ .

4. Terhadap Sesama Fotografer
Tidak saling mengganggu/merugikan proses perekaman
Saling bertenggang rasa






Nama : alfian priliambodo
Npm : 20414812
Kelas :4ic08

Jumat, 29 Desember 2017

0 komentar:

ETIKA KARYAWAN JURNALISTIK



Makalah Etika Profesi
ETIKA KARYAWAN JURNALISTIK


Disusun Oleh :
Nama                   : ALFIAN PRILIAMBODO
NPM           : 20414812
Kelas           : 4IC08



JURUSAN TEKNIK MESIN
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
UNIVERSITAS GUNADARMA
BEKASI
2017

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1  LATAR BELAKANG
1.2  RUMUSAN MASALAH
1.3  TUJUAN
1.4   MANFAAT
BAB II PEMBAHASAN
2.1  PENGERTIAN KODE ETIK
2.2  PENGERTIAN DEWAN PERS
2.3  KODE ETIK JURNALISTIK
2.4  ETIKA JURNALISTIK
2.5  KEKUATAN KODE ETIK
2.6  TANTANGAN JURNALISTIK
2.7  KEPRIBADIAN WARTAWAN INDONESIA
2.8  PERTANGGUNG JAWABAN

BAB III PENUTUP
3.1 KESIMPULAN







BAB I
PENDAHULUAN

1.1            LATAR BELAKANG
Euforia era reformasi tampaknya masih terasa hingga kini. Tiba-tiba banyak orang yang merasa berhak menjadi apa saja, termasuk menjadi wartawan. Orang yang merasa berhak dan mampu menjadi calon legislator bahkan mencapai ratusan atau bahkan ribuan dalam satu kabupaten / kota. Khusus di bidang pers, banyak orang yang tiba-tiba menjadi wartawan dan memiliki kartu pers, padahal mereka tidak pernah melalui jenjang pendidikan jurnalistik yang memadai dan benar. Karena tidak memiliki pendidikan yang memadai dan tidak pernah mendapatkan atau mengikuti pendidikan jurnalistik yang memadai dan benar, maka tidaklah mengherankan kalau banyak oknum wartawan yang menyalahgunakan profesinya dan melanggar kode etik wartawan atau Kode Etik Jurnalistik. Perlu diketahui bahwa yang dimaksud dengan pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi, baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia. (UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers). Lalu apa dan siapa wartawan itu? Wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik. Wartawan bebas memilih organisasi wartawan, tetapi mereka harus memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik. Sebagai professional dan dalam melaksanakan profesinya, wartawan mendapat perlindungan hukum. Wartawan adalah orang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, rasa keterlibatan besar terhadap masalah-masalah sosial kemasyarakatan, memiliki integritas, cermat, andal, siaga, disiplin, serta memiliki keterbukaan. Sebagai orang yang senantiasa bersentuhan dengan publik, wartawan dalam menjalankan profesinya diikat oleh norma dan aturan-aturan yang berlaku di tengah masyarakat. Wartawan pun harus menghormati etika dan kaidah-kaidah yang ada, termasuk menaati Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang telah disepakati bersama oleh 29 organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers Indonesia, di Jakarta, Selasa, 14 Maret 2006, dan ditetapkan oleh Dewan Pers pada Ditetapkan di Jakarta, pada tanggal 24 Maret 2006, melalui Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006, tentang Kode Etik Jurnalistik.

.1.2      RUMUSAN MASALAH
1. Apakah kode etik itu ?
2. Apakah dewan per situ ?
3. Seperti apakah kode etik jurnalistik itu ?
4. Seperti apakah etika jurnalistik itu ?
5. Seperti apa kekuatan kode etik itu ?
6. Tantangan apa yang harus dihadapi jurnalistik ?
7. Seperti apakah kepribadian wartawan Indonesia itu ?
8. Pertanggung jawaban seperti apakah yang harus ddilakukan oleh seorang jurnalistik ?

1.3       TUJUAN
            Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Etika Profesi. Selain itu agar para karyawan jurnalistik dapat menjalankan profesinya dengan baik sesuai dengan Kode Etik karyawan/Jurnalistik.

1.4       MANFAAT
Dengan adanya makalah ini diharapkan dapat memberikan sesuatu yang baik terhadap pembaca dan seorang karyawan Jurnalistik mengenai Kode Etik Jurnalistik serta menambah wawasan agar lebih mengetahui bagaimana cara agar menjadi karyawan yang profesional.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1       Pengertian Kode Etik
Etika berasal dari bahasa Latin, ethica, yang berarti aturan atau kaidah-kaidah moral, tata susila yang mengikat suatu masyarakat atau kelompok masyarakat, atau profesi. Etika didasari oleh kejujuran dan integritas perorangan. Etika yang mengikat masyarakat dalam sebuah profesi itulah yang disebut Kode Etik, maka lahirlah berbagai macam Kode Etik, antara lain Kode Etik Wartawan atau Kode Etik Jurnalistik, Kode Etik Kedokteran, dan Kode Etik Pengacara. Di Indonesia, Kode Etik Wartawan tidak hanya merupakan ikatan kewajiban moral bagi anggotanya, melainkan sudah menjadi bagian dari hukum positif, karena Pasal 7 (2) UU Pers dengan tegas mengatakan bahwa wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik. Kode Etik Jurnalistik dimaksud yaitu kode etik yang disepakati organisasi wartawan dan ditetapkan oleh Dewan Pers.

2.2       PENGERTIAN DEWAN PERS
Dewan Pers adalah lembaga independen yang dibentuk oleh masyarakat dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional. Lembaga ini diakui oleh pemerintah dan mendapatkan biaya dari pemerintah dalam menjalankan fungsinya. Fungsi yang diemban oleh Dewan Pers yaitu melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers; menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik; memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers; mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah; memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan; serta mendata perusahaan pers. Anggota Dewan Pers terdiri atas wartawan yang dipilih oleh organisasi wartawan; pimpinan perusahaan pers yang dipilih oleh organisasi perusahaan pers; tokoh masyarakat; ahli di bidang pers dan atau komunikasi, dan bidang lainnya yang dipilih oleh organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers.

2.3       KODE ETIK JURNALISTIK
Kode Etik Jurnalistik yang telah ditetapkan oleh Dewan Pers terdiri atas 11 pasal dan diawali dengan pembukaan, yang antara lain menyatakan bahwa kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi manusia yang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB. Juga dinyatakan bahwa kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama. Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat. Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik. Surat Keputusan Dewan Pers No.03/SK-DP/III/2006, tanggal 24 Maret 2006 tentang Kode Etik Jurnalistik : Pasal 1 Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Pasal 2 Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Pasal 3 Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah. Pasal 4 Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul. Pasal 5 Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan. Pasal 6 Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap. Pasal 7 Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan "off the record" sesuai dengan kesepakatan. Pasal 8 Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani. Pasal 9 Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik. Pasal 10 Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa. Pasal 11 Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional. Kode etik merupakan prinsip yang keluar dari hati nurani setiap profesi, sehingga tiap tindakanya seseorang yang berprofesi akan membutuhkan tolak ukur dalam profesinya. Seperti pada profesi jurnalistik memliki kebebasan pers sendiri tentunya memiliki batasanya sendiri, dimana batsan yang paling utama dan tak pernah salah adalah apa yang keluar dari hati nurani, namun kebebasan pers bukan hanya dibatai oleh kode etik jurnalistik akan tetapi ada batsan yang kuat yang tercantum pada undang-undang.

2.4       ETIKA JURNALISTIK
     Jurnalistik merupakan cara kerja media massa dalam mengelola dan menyajikan informasi pada masyarakat,yang bertujuan untuk menciptakan komunikasi yang efektif, dalam arti informasi yang disebarluaskan merupakan informasi yang diperlukan. Jurnalistik berasal dari bahasa asing yaitu diurnal dan dalam bahasa inggris journal yang berarti catatan harian. Etika jurnalistik adalah Standart aturan perilaku dan moral yang mengikat para jurnalistik dalam melaksanakan pekerjaanya. Etika jurnalistik ini sangat penting dimana bukan hanya mencerminkan standart jkualitas jurnalistik namun untuk menghindari dan melindungi masyarakat dari kemungkinan dmpak yang merugikan dari tindakan atu perilaku keliru dari seorang jurnalis.

2.5   KEKUATAN KODE ETIK
Kode etik dibuat atas prinsip bahwa pertanggung jawaban tentang penataannya berada terutama pada hati nurani setiap wartawan Indonesia. Dan bahwa tidak ada satupun pasal dalam kode etik (jurnalistik) yang memberi wewenang kepada golongan manapun di luar PWI untuk mengambil tindakan terhadap seorang wartawan Indonesia atau terhadap penerbitan pers. Karenanya saksi atas pelanggaran kode etik adalah hak yang merupakan hak organisatoris dari PWI melalui organ-organnya. Menyimak dari kandungan kode etik jurnalistik di atas tampak bahwa nilai-nilai moral, etika maupun kesusilaan mendapat tempat yang sangat urgen, namun walau demikian tak dapat dipungkiri bahwa kenyataan yang bebicara di lapangan masih belum sesuai dengan yang diharapkan. Namun terlepas dari apakah kenyataan-kenyataan yang ada tersebut melanggar kode etik yang ada atau norma/aturan hukum atau bahkan melanggar kedua-duanya, semua ini tetap terpulang pada pribadi insan pers bersangkutan, dan juga kepada masyarakat, sebab masyarakat sendirilah yang dapat menilai penerbitan/media yang hanya mencari popularitas dan penerbitan/media yang memang ditujukan untuk melayani masyarakat, dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dengan tetap menjunjung tinggi kode etiknya.



2.6  TANTANGAN JURNALISTIK
Seorang Jurnalis atau Wartawan harus memiliki berbagai kemampuan dan keterampilan agar bisa bersaing dan tetap menjalankan profesinya sesuai dengan Kode etik Jurnalistik. Jika seorang wartawan tidak punya keinginan untuk mengembangkan diri, dia akan tersingkir dari kelompoknya. Salah satu tantangan yang harus siap dihadapi yakni kesadaran hukum dan keberanian masyarakat sudah muncul. Mereka meminta hak jawab, berbagai pihak yang dirugikan bisa melakukan somasi dan tuntutan hukum. Jika seorang jurnalis menjalankan profesinya sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik, dia akan lebih dihargai oleh masyarakat, nara sumber dan rekan se-profesinya. Hal yang bisa dilakukan untuk menghadapi Tantangan, diantaranya :  Menjalankan pekerjaan sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik.  Banyak Membaca (buku, koran, kamus populer, internet, UU, Peraturan, Perda dll.)  Mengikuti berbagai Pelatihan dan Kursus Keterampilan (jurnalistik, bahasa asing, audit, pajak, dll.)  Menguasai materi sebelum melakukan wawancara.  Mempunyai data pendukung untuk materi tulisan. 1. Jurnalis Yang Memihak Profesi jurnalis rentan sekali untuk memihak kepada satu pihak, sehingga dia tidak independen lagi dalam mencari berita. Informasi yang disampaukan karena pesanan pihak tertentu. Contoh Keberpihakan, ketika satu daerah melakukan pemilihan kepala daerah langsung. Jurnalis menulis berita tersebut sesuai dengan pesanan tim suksesnya, tanpa memperhatikan keinginan para pembaca. 2. Jurnalis Masyarakat (Civil Journalist) Sejak dibukanya kebebasan Pers tahun 1998 lalu, banyak sekali berbagai perusahaan media yang muncul dan tenggelam. Tetapi para wartawan maupun perusahaan media tidak menyadari bahwa jurnalis masyarakat sudah muncul di dunia maya seperti blog. Para blogger muncul Tanpa perlu latar belakang pendidikan jurnalistik. Mereka membuat berita sendiri (meskipun tidak mengikuti kaidah penulisan). Mereka menuangkan ide, tulisan bahkan makian terhadap pihak tertentu tanpa sensor. 3. Media Gratis Satu lagi tantangan bagi perusahaan para jurnalis dan perusahaan pers yakni maraknya media (koran dan majalah gratis). Media gratis bisa mengurangi pendapatan kue iklan, karena tarif iklan lebih murah dibanding tarif iklan di surat koran maupun majalah. Para penulis di media gratis juga jarang yang berlatar belakang seorang jurnalis. Mereka hanya mengandalkan materi tulisan dari perusahaan yang memasang iklan, seperti iklan berita (advetorial).

2.7   KEPRIBADIAN WARTAWAN INDONESIA
 Wartawan Indonesia adalah warga negara yang memiliki kepribadian, yaitu : bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berjiwa Pancasila, taat pada UUD 1945, bersifat kesatria, menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia dan berjuang untuk emansipasi bangsa dalam segala lapangan, sehingga dengan demikian turut bekerja ke arah keselamatan masyarakat Indonesia sebagai anggota masyarakat bangsa-bangsa.

2.9    PERTANGGUNG JAWABAN
Bahwa seorang wartawan Indonesia dengan penuh rasa tanggung jawab dan bijaksana mempertimbangkan perlu/patut atau tidaknya suatu berita, tulisan, gambar, karikatur dan sebagainya disiarkan. Kaitannya dengan hal di atas, dalam kenyataan yang ada masih terdapat banyak media cetak yang memuat berita atau gambar yang secara jelas bertentangan dengan kehidupan sosial yang religius. Namun walau demikian tampaknya gejala ini oleh sebagian kalangan dianggap sebagai suatu kewajaran dalam rangka mengikuti perkembangan zaman, sehingga batasan-batasan etika dan norma yang harusnya dikedepankan, menjadi kabur bahkan tidak lagi menjadi suatu pelanggaran kode etik, maupun norma/aturan hukum yang ada. Sebagaimana dalam Pasal 5 ayat (1) UU. No. 40/1999 disebutkan bahwa "Pers nasional berkewajiban memberikan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah". Serta ditambahkan lagi dalam Pasal 13 yang memuat larangan tentang iklan, yaitu iklan yang memuat unsur : Mengganggu kerukunan hidup antar umat beragama, minuman keras, narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya dan penggunaan wujud rokok atau penggunaan rokok. Pertanggungjawaban dalam hal ini dapat pula terkait dengan keberpihakan seorang wartawan terhadap seseorang atau suatu golongan tertentu. Namun lagi-lagi dalam kenyataannya menunjukkan bahwa keberpihakan tersebut tampaknya telah menjadi trend dan seolah tidak dipermasalahkan lagi.


Gambar Grafik Gaji Media Cetak

Gambar Grafik Gaji Media Televisi

















BAB III
PENUTUP

3.1    KESIMPULAN
Penerapan kode etik jurnalistik yang merupakan gambaran serta arah, apa dan bagaimana seharusnya profesi ini dalam bentuk idealnya oleh sebagian pers atau media massa belum direalisasikan sebagaimana yang diharapkan, yang menimbulkan kesan bahwa dunia jurnalistik (juga profesi lain) terkadang memandang kode etik sebagai pajangan-pajangan yang kaku. Namun terlepas dari ketimpangan dari apa yang seharusnya bagi dunia jurnalistik tersebut, tampaknya hal ini berpulang pada persepsi dan obyektifitas masyarakat/publik untuk menilai kualitas, bobot, popularitas maupun keberpihakan dari suatu media massa. Kebebasan pers yang banyak didengungkan, sebenarnya tidak hanya dibatasi oleh kode etik jurnalistik, tetapi terdapat aturan lain yang dapat dipergunakan untuk mewujudkan apa yang seharusnya. Untuk itulah masih diperlukan langkah-langkah konkrit dalam rangka mewujudkan peran dan fungsi pers, paling tidak menutup kemungkinan untuk dikurangi dari penyimpangan tersebut.

Kamis, 26 Oktober 2017

1 komentar:

Copyright © 2018 WELCOME BLOG ALFIAN PRILIAMBODO